1. Istilah Megawon
Istilah Megawon berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu mega dan won. Mega berarti sesuatu yang sangat agung, sesuatu yang memiliki nilai tinggi, dan sesuatu yang memiliki makna megah. Dalam perspektif kosmologi mega juga merupakan bagian penting dari alam yang memayungi dan memberi kesejukan pada dunia. Sementara kata won berfungsi untuk memperhalus bahasa. Sehingga istilah megawon dapat diartikan sebagai suatu daerah yang memiliki makna tinggi dan sangat megah serta agung, yaitu suatu perdikan yang memiliki makna tinggi, memberikan kemajuan dan pengharapan hidup, memberikan keberkahan, serta memberikan kesejukan kepada penduduk yang mendiaminya. Apabila diteliti lebih dalam, istilah Megawon yang kemudian menjadi nama sebuah desa di Kudus, sesungguhnya dapat dihubungkan dengan istilah Al-Quds (baca : suci) sebagai asal kata untuk nama kota Kudus. Hal ini mengandung maksud bahwa Megawon sebagai nama suatu desa yang memiliki nilai tinggi merupakan bagian tak terpisahkan dari kota Kudus yang suci.
2. Megawon pada masa Hindu-Budha
Berdasarkan data sejarah, perdikan Megawon sudah didiami dan sudah menjadi perkampungan masyarakat Hindu dan Budha sejak abad ke-8 sampai abad ke-10 M. Hal ini dikuatkan dengan ditemukannya Situs Candi Bacin di Desa Dersalam, yaitu desa tetangga yang terletak disebelah utara Megawon. Situs ini telah dijadikan sebagai pusat ibadah dan pengembangan agama Hindu dan Budha sejak abad ke-8 samapi abad ke-10 M. Di candi ini juga ditemukan Yoni Lambang Cakti Ciwa dan Kemuncak yang merujuk pada angka pembuatannya pada abad yang sama. Di daerah Tajug (sebelum diganti namanya oleh Syech Ja'far Sodiq menjadi Kudus) agama Hindu semula memang lebih merakyat daripada Budha, hal ini ditunjukkan dengan banyak ditemukan peninggalan purbakala berlatar belakang Hinduisme. Hal ini terjadi karena agama Hindu datang lebih awal daripada Budha, tradisi Hindu sangat kuat mengakar ditengah-tengah masyarakat Kudus kala itu, dan Hindu mendapat dukungan kuat dari penguasa dan raja-raja yang beragama Hindu (Solichin Salam, 1977 dan Ma'mun Mu'min, 2012).
Bila dibandingkan dengan beberapa daerah di Kudus, seperti Demangan, Dersalam, Nganguk dan Sunggingan, perdikan Megawon pada masa Hindu dan Budha nampaknya belum menjadi pusat penyebaran agama ini. Kemungkinan ini terjadi karena letak geografis perdikan megawon lebih rendah dibandingkan dengan keempat daerah tersebut, sehingga sangat mungkin sebelum abad ke-8 daerah ini masih dikelilingi rawa-rawa dan belum begitu banyak yang bertempat tinggal di Megawon. Baru pada abad ke-8 setelah daerah ini menjadi daratan berangsur-angsur didiami penduduk dan menjadi perkampungan masyarakat Hindu dan Budha. Disamping itu letak perdikan Megawon cukup dekat dengan daerah Dersalam yang sejak abad ke-8 telah menjadi pusat penyebaran agama Hindu dan Budha. Walaupun daerah ini sudah ramai didiami penduduk namun sampai awal abad ke-15 daerah ini belum memiliki nama kampung.
3. Megawon pada Masa Kewalian
Menurut cerita leluhur masyarakat setempat, istilah Megawon untuk pertama kali dipakai oleh Mbah Ronggo. Ia diyakini sebagai pendiri perdikan Megawon dan menetap di Dukuh Krajan Megawon. Mbah Ronggo dipercaya sebagai salah seorang santri dan prajurit Kesultanan Demak Bintoro yang ikut bersama-sama dengan rombongan Syech Ja'far Sodiq atau Sunan Kudus untuk melakukan dakwah Islamiyyah di Kudus. Bila informasi ini benar, maka istilah perdikan Megawon mulai dipakai sejak tahun 1543 M, dimana pada masa ini pertama kali Mbah Ronggo menginjakkan kakinya di Megawon.
Menurut Tambo Jawa Tengah, kedatangan Syech Ja'far Shodiq di Kudus disertai beberapa prajurit dan sejumlah santri. Setelah tingal di Kudus Kulon, Syech Ja'far Shodiq menyebar beberapa prajurit dan santrinya untuk tinggal di perkampungan yang sudah ramai penduduknya. Salah satu santri dan prajurit yang ia tugasi adalah Mbah Ronggo yang ditugasi untuk tingggal dan memimpin masyarakat Megawon. Penugasan ini selain untuk mempercepat dakwah Islamiyyah, lebih mendekati masyarakat, juga untuk mengawasi hubungan antara masyarakat Hindu dan Budha yang sudah lama tinggal di Megawon dengan masyarakat muslim yang baru tinggal di daerah itu. Ia tinggal di Dukuh Krajan.
Menurut Sedjarah Dalem, pada masa Sunan Kudus berkuasa antara tahun 1543-1555, perdikan Megawon menjadi salah satu desa yang berada di bawah pemerintahan Sunan Kudus. Hal ini dikuatkan dengan diangkatnya salah seorang santri dan prajurit Sunan Kudus yang bernama Mbah Ronggo menjadi pemimpin agama dan pemerintahan pertama di Megawon sampai ia meninggal dunia. Setelah kurang-lebih 100 tahun Mbah Ronggo meninggal, di Megawon ada dua tokoh suami-istri yang cukup terkenal, yaitu Mbah Muhammad Ragil dan Siti Mursiyah, sekarang masyarakat megawon menyebutnya dengan sebutan Mbah Makam. Mbah Ragil dan Mbah Siti Mursiyah hidup sekitar abad ke-17, mereka berdua merupakan tokoh agama, pendakwah dan pemimpin masyarakat Desa Megawon. Sepeninggal kedua tokoh ini, sekitar abad ke-18, di Megawon muncul tiga orang tokoh yang cukup terkenal, yaitu Mbah Gusti Gunungjati dari Dukuh Bogol, Mbah Sa'dullah dari Dopang, dan Mbah Sireng dari Dukuh Wungu. Konon menurut cerita masyarakat Megawon Mbah Gunungjati selain sebagai pemimpin masyarakat juga seorang ulama yang sangat dalam ilmu agamanya. Bahkan sebagian masyarakat ada yang meyakini ia termasuk seoran wali Allah dan pengaruhnya cukup luas di Kudus. Sepeninggal Mbah Gunungjati, posisinya oleh Mbah Buyut Lowo, namun pengaruhnya hanya terbatas disekitar Dukuh Bogol. Demikian juga kedua tokoh berikutnya, Mbah Sadu dan Mbah Sireng, merupakan Tokoh agama dan pemimpin lokal di Megawon.
Perlu ditegaskan disini, ketujuh tokoh tersebut diatas terutama Mbah Ronggp dan Mbah Gusti Gunungjati merupakan tokoh-tokoh yang yang memiliki ilmu agama dan ilmu kanuragan yang cukup tinggi serta mimiliki banyak karomah. Hal ini seperti banyak diyakini dan dibuktikan masyarakat Megawon sampai saat ini. Setelah ketujuh tokoh ini di Megawon tidak ditemukan tokoh-tokoh lainnya yang sekaliber (setingkat) ilmu dan kesalehannya dengan mereka dan posisi mereka belum tergantikan dalam masyarakat.
Menurut tradisi di Kudus waktu itu, apabila kekuasaan seseorang berakhir karena meninggal dunia maka akan digantikan oleh keturunannya. Hal ini seperti terjadi pada Sunan Kudus, ketika ia meninggal dunia tahun 1550, kekuasannya diganti oleh cucunya yang bergelar Panembahan yang berkuasa di Kudus sampai akhir abad ke-16, setelah ia meninggal dunia kemudian kekuasaan Panembahan digantikan oleh keturunan berikutnya yang bergelar Pangeran dan berkuasa pada abad ke-17. Siapa nama Panembahan dan Pangeran dimaksud dalam buku Sejdarah Dalem tidak dijelaskan (HJ. de Graaf dan T.H. Pigeaud, 2001).
Sepeninggal Pangeran kekuasaan pemerintahan keluarga Sunan Kudus di Kudus berakhir, hal ini terjadi karena mendapat tekanan dari panembahan Senopati pendiri kerajaan Mataram waktu itu. Dengan berdirinya kerajaan Mataram pada abad ke-17 popularitas kota Kudus menjadi redup, dari waktu ke waktu keadaan ini semakin sepi dan banyak ditinggalkan penduduknya pindah ke Pajang dan Mataram. Demikian juga orang-orang Eropa, dalam hal ini Inggris dan Belanda, serta orang Cina, pada waktu itu perhatiannya banyak ke Mataram yang telah menjadi pusat pemerintahan di Jawa. Sejak Saat itu praktis pemerintahan di Kudus sampai pada tingkat desa, seperti Desa Megawon tidak banyak diketahui orang (M.C. Ricklefs, 2005, Suwito Santoso dan Kestity Pringharjono, 2006).
4. Megawon pada masa Kolonial dan Kemerdekaan.
Sejarah kota Kudus mulai jelas lagi setelah pada abad ke-18 Kudus dikuasai oleh Belanda, pada tahun 1800-an pemerintah kolonial Belanda mengangkat seorang Bupati di Kudus, yaitu K.R. Adipati Ario Padmonegoro (tahun 1800-an), setelah meninggal dunia posisinya digantikan oleh Bupati K.R. Tumenggung Tjokohadinegoro (sampai tahun 1812), setelah meninggal dunia kemudian posisinya digantikan oleh Bupati Kanjeng Kyai Adipati Ario Tjondronegoro yang berkuasa tahun 1812-1837 (HJ. de Graaf dan T.H. Pigeaud, 2001).
Pada tahun 1830 pemerintah kolonial melakukan perubahan sistem pemerintahan dari liberal ke sistem pemerintahan konservatif. Gubernul Jendral Van Der Capellen yang berhaluan liberal dipulangkan ke Belanda dan posisinya diganti Gubernul Jendral Johannes Van Den Bosh. Peralihan sistem pemerintahan Belanda daro liberal ke konservatif ini disesbabkan beberapa faktor, yaitu : (1) Belanda mengalami kekalahan prsaingan ekonomidengan Inggris, (2) Belanda mengalami kekalahan perang di Eropa, (3) Sistem pemerintahan liberal menjadi sebab jurang pemisah antara Belanda dengan rakyat pribumi, dan (4) Belanda mengalami kebangkrutan akibat Perang Diponegoro di Jawa, Perang Paderi di Sumatra Barat, dan Perang Sabil di Aceh (MC Ricklefs, 2005).
Untuk menyukseskan sistem pemerintahan konservatifnya, Gubernul Jendral Johannes Van Den Bosh melakukan restrukturisasi sistem pemerintahan, Jawa dibagi menjadi 9 karesidenan (prefectuur) yang dikepalai oleh seorang perfect. Pada saat itu Kudus berada dibawah Karesidenan Pati, Van Den Bosh di Kudus dengan mengangkat Kanjeng Pangeran Adipati Tjondronegoro IV sebagai Bupati Kudus yang memerintah pada tahun 1837-1865. Untuk membantu tugas bupati diangkat pula 3 orang wedana yang masing-masing ditugasi memimpin Kawedanan, dalam hal ini yaitu Kawedanan Kota, Kawedanan Tenggeles dan Kawedanan Cendono. Dibawah kawedanan diangkat Asisten Kawedanan (setingkat kecamatan). Kawedanan Kota dibagi menjadi 3 wilayah, yaitu Kota, Jati dan Undaan. Asisten Kawedanan membawahi desa-desa, dalam hal ini Desa Megawon berada dibawah Asisten Kawedanan Jati. Kepala Desa Megawon yang pertama kali diangkat oleh Belanda adalah Kepala Desa Yoesoef di Dukuh Wungu dan Krajan dan Kepala Desa Tro Kasidin di Dukuh Bogol yang masing-masing memerintah antara tahun 1850-1918.
Satu hal yang menarik, proses pengangkatan kepala desa waktu itu melalui suatu acara "Adu Kasekten", pemerintah Belanda mengadakan sayembara memilih kepala desa dengan cara para calon yang sudah mendaftar kemudian diadu kesaktiannya. Semisal audisi era sekarang, mereka diadu satu lawan satu. Tentu saja pada waktu itu yang mendaftar untuk menjadi calon kepala desa Megawon cukup banyak dan datang dari berbagai daerah dari Megawon dan luar Megawon. Singkat cerita, dari audisi kasekten itu yang tersisa tinggal dua orang yaitu Mbah Yoesoef dan Mbah Tro Kasidin. Menurut cerita konon kedua orang ini masih keturunan dari tokoh masyarakat Megawon diatas. Setelah seharian mereka diadu kesaktiannya, ternyata tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang. Akhirnya pihak penyelenggara memutuskan kedua orang ini ditetapkan sebagai pemenang dan keduanya diangkat menjadi Kepala Desa Megawon secara bersama-sama. Mbah Yoesoef ditugaskan di Dukuh Wungu dan Krajan, sementara Mbah Tro Kasidin ditugaskan di Dukuh Dopang dan Bogol.
5. Kesenian dan Kerajinan Masyarakat Desa Megawon
Sepeninggal Mbah Yoesoef dan Mbah Tro Kasidin, pada tahun 1918 posisi kepala desa Megawon dijabat oleh Mbah Agoeng yang memerintah pada tahun 1918-1921. Kemudian posisinya digantikan oleh Kepala Desa Soemowidjojo yang memrintah antara tahun 1921-1945. Kemudian dilanjutkan oleh Kepala Desa Matlaslim yang memerintah pada tahun 1945-1977. Pada masa Kepala Desa Matlaslim Desa Megawon mengalami perkembangan yang cukup pesat, terutama dibidang kesenian dan kerajinan. Dalam bidang kesenian masyarakat Megawon berhasil mengembangkan seni Terbang Papat dan Seni Tari Bunyaho, dan dalam bidang kerajinan masyarakat Megawon berhasil mengembangkan kerajinan Sangkar Burung.
Kesenian Terbang Papat merupakan kesenian asli berasal dari desa Megawon, semula diciptakan oleh Mbah Mukadar dari Dukuh Krajan pada tahun 1945. Kemudian Tari Bunyaho semula berasal dari daerah Bumiayu, kemudian pada tahun 1970 dibawa oleh Mbah H. Abdul Jalil (Mbah Tamzid) ke Megawon. Ia berhasil memadukan seni Tari Bunyaho dengan seni bela diri atau kanuragan. Sementara dibidang kerajinan sangkar burung pada tahun 1960 Mbah Abu Badri dari Dukuh Wungu berhasil mengembangkan kerajinan sangkar burung setelah kepada Mbah Bain dari Wergu Wetan.
a. Seni Terbang Papat
Dalam perkembangannya, kesenian terbang papat mengalami pasang surut. Pada awlnya kesenian Terbang Papat mengalami kejayaan, hal ini terbukti dengan kepercayaan masyarakat disaat ada hajatan misalnya khitanan,pernikahan dan lainnya hampir dipastikan mengundang tim Terbang Papat yang berpusat di Masjid Al-Muttaqin Megawon sebagai sarana hiburan. bersambung.......
Makam Mbah Ronggo di Dukuh Krajan
Pendiri Desa Megawon
Ganti Luwur Setiap Tanggal 17 Muharram
Makam Muhammad Ragil dan Siti Mursiyah
di Dukuh Wungu
Ganti Luwur Setiap Tanggal 16 Muharram
Makam Mbah Sa'dullah di Dukuh Dopang
Ganti Luwur Setiap Tanggal 17 Muharram
Makam Mbah Gusti Gunungjati di Dukuh Bogol
Ganti Luwur Setiap Tanggal 11 Muharram